Kamis, 10 Januari 2013

Dengarlah Harapan Mereka

                                                 ( Manusia dan Harapan )

       Harapan atau asa adalah bentuk dasar dari kepercayaan akan sesuatu yang diinginkan akan didapatkan atau suatu kejadian akan bebuah kebaikan di waktu yang akan datang. Pada umumnya harapan berbentuk abstrak, tidak tampak, namun diyakini bahkan terkadang, dibatin dan dijadikan sugesti agar terwujud. Namun ada kalanya harapan tertumpu pada seseorang atau sesuatu. Pada praktiknya banyak orang mencoba menjadikan harapannya menjadi nyata dengan cara berdoa atau berusaha.

      Tembakau Temanggung, salah satu tembakau wahid di Indonesia, belum sepenuhnya mampu mensejahterakan hidup para petaninya. Penyebabnya, sistem tata niaga tembakau yang terjadi saat ini belum sepenuhnya berpihak kepada mereka.


      Banyak petani telah yang telah bergelut dengan tanaman tembakau selama belasan hingga puluhan tahun. Namun, kehidupan mereka tak kunjung sejahtera.

       Kening Wahno, seorang petani tembakau di Bansari, Temanggung, berkerut ketika ditanya sudah berapa lama dirinya bergumul dengan lahan "emas hijau". Yang jelas, sudah belasan tahun, katanya. Diingatnya masa-masa di mana dirinya membantu ayahnya menanam tembakau. Kala itu, Wahno remaja kerap mengintili ayahnya menuju ke sebidang lahan tembakau tak jauh dari rumahnya.

       Kendati sudah belasan tahun bertani “emas hijau”, kehidupan Wahno tak banyak berubah. Ketika ditemui di rumahnya yang seluas sekitar 100 meter persegi tersebut, Wahno tengah bersantai. Ditemani alunan musik pop yang berasal dari radio bututnya, Wahno sempat menceritakan kisahnya menjadi petani tembakau.

      “Jadi petani tembakau itu gampang-gampang susah,” katanya. Gampang, karena bertani tembakau tak memerlukan kecakapan akademis tertentu. Susah, karena hidup-mati tembakau sangat bergantung pada alam. Jika panas, hasil tembakau akan bagus. Sebaliknya, jika hujan, bukan untung, tapi buntung yang diperoleh.

      Selama menggeluti dunia tembakau, Wahno mengaku jarang mendapatkan bantuan langsung dari pemerintah maupun asosiasi petani. Hal ini ironis mengingat tembakau salah satu sektor usaha yang memutar roda perekonomian di Temanggung. Wakil Ketua DPRD Kabupaten Temanggung Mukhamdi mengatakan, setiap kali panen tembakau, uang yang beredar di kota tersebut mencapai Rp 1 triliun. Padahal, APBD Temanggung hanya Rp 641 triliun.

      “Seharusnya petani tembakau itu diperhatikan. Jika petani tembakau tidak ada, memang pabrik bisa apa,” kata Wahno.

       Wajar Wahno berbicara seperti itu. Pasalnya, selama bertani tembakau, Wahno mengaku tidak pernah mendapat bantuan dari pemerintah maupun asosiasi petani tembakau.

      “Pemerintah tidak pernah kasih penyuluhan atau bantuan biaya,” kata Wahno.

     Padahal, dirinya memimpikan adanya bantuan modal. Selama ini, menurut pengakuan Wahno, banyak petani di desanya yang beralih ke juragan ketika membutuhkan modal.

      “Bunga pinjaman dari juragan besar sekali. Setiap (pinjaman) Rp 1 juta, pengembaliannya Rp 1,5 juta. Ngawur itu,” kata Wahno.

      Prayitno, petani di Tlogomulyo, berharap pemerintah dapat memberikan bantuan modal. Selama ini, kata Prayitno, petani selalu berutang ke tengkulak ketika membutuhkan modal. Di daerahnya, bunga pinjaman dapat mencapai 25 persen per masa tanam. Hal ini dinilai memberatkan. Terlebih, jika hasil panen tembakau tak sebagus yang diharapkan.

      Sementara itu, Hudi, petani di Ngadirejo, juga memiliki harapan agar pihak grader atau juragan gudang tembakau tak memberlakukan kebijakan potongan 20 persen dari setiap keranjang tembakau yang dijual ke pabrik.

      “Keinginan petani, yang dipotong itu berat keranjangnya saja,” kata Hudi. Berat keranjang tembakau, kata Hudi, maksimal lima kilogram.

       Sementara itu, Eno dan Muji, juga petani tembakau di Ngadirejo, berharap agar petani dapat langsung menjual hasil panen tembakaunya ke gudang, tanpa perantara tengkulak atau pengepul.

      Selama ini, peran perantara kerap dinilai merugikan petani. Pengepul, bersama grader, dinilai sebagai pihak yang berkuasa menentukan harga, sementara petani tak memiliki daya tawar. “Harga bukan milik petani. Petani tidak memiliki daya tawar,” kata Muji.

      Maka itu, petani lebih bersikap pasif soal penentuan harga. “Daripada enggak dibeli. Kalau enggak dibeli, kami mau makan apa?” kata Muji.

      Saat ini, orang yang dapat menjual tembakau langsung ke gudang adalah mereka yang memiliki kartu tanda anggota. Apa tidak tertarik mengurus pengajuan KTA? “Ah, susah. Itu ada mafianya, nepotisme. Mereka yang bisa masuk ke gudang adalah orang-orang gudang dan keluarganya,” kata Eno.

      Ketika dikonfirmasi soal bantuan, Kepala Perkebunan Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Kabupaten Temanggung, Rumantyo mengaku, pihaknya telah rutin menyalurkan bantuan kepada petani, seperti penyuluhan, sosialisasi, bibit, pupuk, dan sebagainya. Rumantyo mengatakan, bantuan biasanya disalurkan melalui kelompok-kelompok tani di daerah masing-masing.

       Rumantyo juga mengaku ada mekanisme kontrol atas penyaluran bantuan.

      “Kami ikuti perkembangannya,” kata Rumantyo.

      Namun, faktanya, bantuan pemerintah ini tak selalu sampai ke petani. Hudi, misalnya, mengatakan, bantuan berupa penyuluhan terakhir yang diterimanya adalah sekitar tiga hingga empat tahun silam.
Banyak petani telah yang telah bergelut dengan tanaman tembakau selama belasan hingga puluhan tahun. 

      Namun, kehidupan mereka tak kunjung sejahtera. Tembakau Temanggung, salah satu tembakau wahid di Indonesia, belum mampu mensejahterakan hidup mereka. Penyebabnya, sistem tata niaga tembakau yang terjadi saat ini belum sepenuhnya berpihak kepada petani.

Sudah saatnya pemerintah lebih mendekatkan diri ke petani dan mencoba mendengar harapan-harapan mereka.


Sumber : http://www.kompas.com/tembakau/fitur1.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar