Kegelisahan atau gelisah adalah sifat natural/alami yang dimiliki manusia yang berakal.
Hidup di Kota Jakarta memang menjadi dilema tersendiri. Disatu sisi kita masih bisa menghirup udara segar, namun disisi lain ada banyak permasalahan yang harus kita hadapi seperti halnya banjir Kota Jakarta sudah terkenal dengan berita banjir seperti berita dibawah ini...
Warga menelepon menembus air bah di RW 10, Kelurahan Bukit Duri, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan, Senin (3/11).
MASIH jelas dalam ingatan Kurniasih bagaimana warung nasinya yang belum genap sebulan berdiri, tiba-tiba hanyut suatu sore di bulan Februari tahun lalu. Air naik begitu cepat dari Kali Ciliwung, dan beberapa saat warung kayunya itu hilang ditelan air. Atapnya pun tak tampak dalam hitungan menit.
Pada saat yang sama, ia juga menyaksikan sebuah lemari es terhanyut akibat kuatnya banjir. Ia pun urung menyelamatkan sisa-sisa warungnya dan terpaksa mengungsi ke Universitas Nasional. Tiga hari kemudian, setelah air surut, warungnya telah lenyap diganti onggokan lumpur dan sampah.
Ingatan akan kengerian banjir setinggi empat meter itu kini datang lagi menghantuinya karena musim hujan menjelang. Walau ditemui sedang bersantai di dekat warung barunya, matanya tak bisa menyembunyikan kegelisahan setiap kali mendung menggantung.
Kurniasih tak bisa menghindar dari kenyataan harus hidup bersama banjir. Ia pun tak ingin meninggalkan warung nasinya, yang walau sempit, namun menjadi satu-satunya sumber nafkah bagi keluarganya.
Kini, setelah hampir setahun peristiwa itu berlalu, ia masih was-was akan nasib warungnya. Bagaimana tidak, dalam minggu ini saja banjir sudah melanda Tanjung Sanyang sebanyak dua kali. Pertama pada hari Senin (10/11) dan Jumat (14/11) dini hari tadi.
"Waktu banjir tadi datang (Jumat dini hari-red), saya hampir pingsan karena suami sedang pulang ke kampung dan anak sedang tidak disini," ujar Kurniasih.
Ia menceritakan, saat itu dirinya sedang tidur di warung, saat mendengar teriakan warga bahwa sungai meluap. Seketika itu ia lari ke rumahnya yang berdekatan dengan sungai untuk mengambil pakaian dan barang-barang lain. Lalu ia bergegas ke warung untuk menyelamatkan peralatan di sana. Harta yang ia miliki itu dibawa ke daerah yang tak tergenang. Mulutnya tak henti memohon agar banjir tak naik lagi.
Air memang kemudian surut. Namun genangan di sekitar warungnya masih menyisakan ancaman. Ini disadari Kurniasih ketika sebuah mobil melaju cepat di depan warung. Air yang menggenang setinggi lutut pun tersibak dan menjadi gelombang yang menghantam warungnya. Ia menyaksikan betapa warung itu bergoyang nyaris roboh.
Ia pun segera meletakkan panci, baskom dan wadah lain berisi air di atas meja warung. Harapannya, "pemberat" ini dapat menjaga warungnya tidak goyah bila ada mobil melintas lagi.
Kurniasih bukan satu-satunya yang repot bila banjir datang. Bersama tetangga-tetangganya mereka mengaku hanya bisa pasrah dan berusaha menyelamatkan semampunya jika banjir datang. Ia berkeyakinan, meski hidup tidak tenang, namun Jakarta yang banjir memberinya kesempatan hidup lebih besar daripada jika ia pulang ke kampungnya.
Ia juga enggan pindah karena suasana lingkungan telah dirasa cocok dan ia sudah punya pelanggan di situ. Ia hanya berharap, jika memang banjir datang, warungnya bisa bertahan menghadapi banjir, dan juga kerasnya kehidupan ibukota.
Hal ini sangat membuktikan bahwa dimana-mana Jakarta kebanjiran. Oleh karena itu kita menghimbau untuk menjaga kebersihan dengan baik, kita harus bisa memulai agar Kota Jakarta tidak kebanjiran lagi. Membuang sampah pada tempatnya. Kita harus yakin bisa asalkan ada kemauan untuk berusaha.
Sumber : http://nasional.kompas.com/read/2008/11/14/1604143/banjir.boleh.datang.tapi.warung.jangan.tenggelam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar